Pendidikan STEM Berbasis Kearifan Lokal Untuk Meningkatkan Cinta Budaya dan Karakter Peduli Sosial *)
Oleh : Eris Nurhayati
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Berdasarkan hasil penelitian dari Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan ISEAS (Institute of South Asian Studies) terdapat sekitar 633 suku yang diperoleh dari pengelompokan suku dan sub suku yang ada di Indonesia (Pitoyo, 2017). Ribuan pulau yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia dihuni ratusan suku dan merupakan bukti bahwa negara ini merupakan negara dengan tingkat keragaman suku dan latar belakang kebudayaan yang tinggi.
Keragaman budaya, suku bangsa, ras, etnis, agama, maupun bahasa daerah menjadikan negara Indonesia sebagai salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kondisi sosio kultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, heterogen, dan plural menjadi suatu hal yang penting dan menarik sebagai dasar untuk mengaitkan budaya dengan pelajaran sains.
Nusa Tenggara Barat, yang beribu kota di Mataram, terdiri dari 10 Kabupaten dan 2 kotamadya. Sebagian besar penduduk Nusa Tenggara Barat berasal dari Suku Sasak, Mbojo, Sumbawa dan selebihnya merupakan pendatang dari berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Keragaman tersebut melahirkan budaya dan kebiasaan masyarakat yang berbeda beda. Adat dan kebudayaan tersebut dilestarikan dan dilaksanakan secara turun temurun.
Selama ini, pembelajaran sains di sekolah mengacu kepada sistem pembelajaran dari belahan dunia bagian Barat, yaitu Eropa dan Amerika. Pembelajaran dari belahan dunia tersebut, cenderung bernuansa modern, sehingga pembelajaran sains yang mengaitkan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat lokal menjadi terbatas. Menurut Sudarmin (pakar pendidikan Universitas Negeri Semarang) pembelajaran dengan menghubungkan budaya lokal, ilmu pengetahuan asli dan pengetahuan ilmiah dikenal dengan etnosains. Pembelajaran etnosains telah dikembangkan di berbagai negara. Implementasinya, karena keterbatasan guru dalam menghubungkan konsep, proses dan konteks sains serta pengetahuan ilmiah menyebabkan pembelajaran etnosains kurang berkembang di sunia pendidikan Indonesia.
Indonesia saat ini menerapkan kurikulum tahun 2013, yang mengamanatkan tentang mata pelajaran sains yang dapat mendukung atau melibatkan budaya dan kearifan lokal. Hal tersebut berarti bahwa guru sains harus responsif terhadap pengembangan antara budaya dan kearifan lokal, teknologi dan seni yang ada di sekitarnya untuk membangun rasa ingin tahu dan kemampuan peserta didik untuk membuat model ilmiah dalam pelajaran sains mereka. Bentuk pembelajaran yang khas dari suatu masyarakat tertentu (etnosains) sangat penting dimiliki oleh siswa untuk mengetahui gejala yang dianggap penting dan mengorganisirnya dalam pembelajaran.
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi alat yang diperlukan dan tidak terpisahkan untuk pembangunan nasional. Jika pendidikan sains dan teknologi direncanakan dan diimplementasikan dengan benar, suatu bangsa dapat mengalami terobosan pada hampir semua bidang kehidupan. Negara yang mengabaikan pengajaran dan pembelajaran sains di sekolah akan mendapatkan resiko sebagai negara yang mengalami ketinggalan.
Wabah Covid-19 sejak masuk ke Indonesai mulai bulan Maret 2019 memberikan dampak yang signifikan di berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Pendidikan di masa pandemi mengalami masa yang diakui berat oleh berbagai pihak, mulai dari guru, peserta didik maupun orang tua. Pemerintah, telah aktif terlibat dalam memberikan pemecahan masalah. Salah satunya adalah dengan menerbitkan Kepmendikbud Nomor 719/P/2020 tentang pedoman pelaksanaan kurikulum pada satuan pendidikan dalam kondisi khusus. Selain itu, sejak 16 Maret 2019 kebijakan pembelajaran dilaksanakan secara jarak jauh melalui media berbasis daring.
Pembelajaran di masa pandemi mau tidak mau, siap atau tidak siap harus melibatkan teknologi sebagai media utama dalam penyampaiannya. Terlebih lagi, saat ini dunia memasuki era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, maka pembelajaran siswa harus menyesuaikan zaman. Kurikulum abad 21 yang memadukan pengetahuan, pemikiran, keterampilan, inovasi, media, literasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan pengalaman kehidupan nyata harus sesuai dalam konteks pembelajaran sains. Konsep sains dihasilkan dari rekonstruksi pengetahuan masyarakat yang diintegrasikan ke dalam sains. STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) yang saat ini sedang dikembangkan di berbagai negara adalah pilihan yang tepat untuk mengintegrasikan etnosains tersebut.
Pembelajaran STEM memberikan kesempatan yang sangat baik untuk merangsang siswanya menjadi pemecah masalah, innovator, dan pencipta yang lebih baik. Melalui langkah-langkah pembelajaran Engineering Design Process (EDP) siswa diarahkan untuk bepikir kritis melalui langkah-langkah pembelajaran Menanya (ask), membayangkan (imagine), merencanakan (plan), menciptakan (create) dan mengembangkan (improve).
Berdasarkan angket yang disebarkan ke sekolah menengah di wilayah Nusa Tenggara Barat, didapatkan gambaran bahwa sebagian besar guru IPA belum pernah mengaitkan pembelajaran IPA berbasis STEM dengan pendekatan etnosains. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis STEM dengan pendekatan etnosains perlu dikembangkan untuk menciptakan pembelajaran yang lebih mudah difahami dan menyenangkan serta untuk meningkatkan kecintaan terhadap budaya daerah, ketrampilan berpikir kreatif serta sikap peduli sosial..
Bagaimanakah pembelajaran berbasis STEM dengan pendekatan etnosains dapat meningkatkan rasa cinta terhadap budaya daerah, ketrampilan berpikir kreatif serta sikap peduli lingkungan? Menurut Treffinger (2002) ketrampilan berpikir kreatif setidaknya memiliki 5 komponen, yaitu kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keaslian (originality), merinci (elaboration) dan berpikir metafora (methaporical thinking). Sedangkan karakter peduli sosial menurut Kemdiknas (2010) adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Pembelajaran berbasis STEM dengan pendekatan etnosains yang sudah dilaksanakan di SMAN 3 Mataram adalah dengan memanfaatkan daun kelor (Moringa oleifera) sebagai bahan pembuatan hand sanitizer (Gambar 1). Daun kelor banyak ditemukan di Pulau Lombok. Masyarakat Lombok biasa memelihara tanaman kelor untuk dikonsumsi dengan cara diolah menjadi berbagai masakan. Berbagai resep olahan kelor dapat dengan mudah kita temukan di internet. diantaranya sayur bening, sup, urap, bahkan juz.. Namun belum banyak masyarakat yang mengeksplorasi pemanfaatan dari daun kelor.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ahli obat alternatif Torondel, dkk (2014) bubuk daun kelor telah terbukti efektif dalam mengendalikan organisme patogen yang ditularkan melalui tangan yang terkontaminasi. Efektifitas bubuk daun kelor tersebut telah teruji ketika dibandingkan dengan menggunakan sabun pencuci tangan. Dari berbagai referensi tersebut, siswa berdiskusi untuk membuat handsanitizer berbahan dasar daun kelor. Hal tersebut juga dilatarbelakangi dengan kesulitan warga SMAN 3 Mataram untuk mendapatkan handsanitizer saat awal pandemi Covid-19 merebak dan tentu saja hal tersebut juga untuk menumbuhkan karakter peduli terhadap sosial.
Eksplorasi siswa berkembang ke bagian tanaman kelor yang lain, yaitu biji kelor. Ekstrak biji telah dimanfaatkan untuk pengolahan dan pemurnian air dan telah didokumentasikan dalam berbagai penelitian. Beberapa peneliti lain melaporkan bahwa dalam biji Moringa oleifera ditemukan polipeptida yang dimanfaatkan sebagai koagulan dan juga memberikan efek antibakteri pada strain bakteri berbahaya. Hal tersebut menumbuhkan semangat dari siswa-siswi untuk memanfaatkan biji kelor sebagai desinfektan alami (Gambar 2).
Pembelajaran berbasis STEM dengan pendekatan etnosains juga diterapkan dalam pengolahan minuman tuak manis. Tuak manis adalah minuman khas Desa Pusuk Lestari, Lombok Barat. Selama ini masyarakat Desa Pusuk Lestari menjual produk tuak manis dalam kemasan botol berukuran 600 mL maupun 1,5 L dengan harga bervariasi pada kisaran Rp 5.000,- sampai dengan Rp 15.000,-. Selama masa pandemi jumlah penjualan tuak manis di Desa Pusuk Lestari menurun drastis. Untuk membantu pengusaha tuak manis, siswa-siswi membuat proyek bagaimana ‘menyelamatkan’ minuman pusuk yang tidak laku dijual.
Berawal dari proyek pembuatan nata de coco yang pernah dilaksanakan oleh siswa pada kegiatan Karya Ilmiah Remaja (KIR) kemudian siswa melakukan pengolahan yang serupa dengan nata de coco, namun dengan cara menggantikan bahan air kelapa pada nata de coco dengan tuak manis. Hasilnya, sangat luar biasa, produk nata berbahan dasar tuak manis berhasil diproduksi. Bahkan lebih menguntungkan dibandingkan dengan nata de coco. Apabila pada proses pembuatan nata de coco harus menambahkan gula pada air kelapa, pada nata dari tuak manis tidak perlu ditambahkan gula, karena sifat manis yang sudah dibawa dari air tuak manis.
Hasil dari pembelajaran berbasis STEM dengan pendekatan etnosains meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa tentang sains, teknologi, enjinering/rekayasa serta matematika. Melalui proyek STEM membuat handsanitizer dan desinfektan berbahan dasar daun kelor siswa mampu memanfaatkan pengetahuan dan pemahaman dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. Melalui pembelajaran berbasis STEM dengan pendekatan etnosains menjadi jalan untuk penguasaan ketrampilan abad 21 (berpikir kritis, kreatif, kolaboratif, komunikatif). Dengan penguasaan ketrampilan abad 21 maka siswa siswi akan lebih mampu bersaing menghadapi era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0.
*) Tulisan ini pernah dimuat di Radar Lombok edisi 4 Mei 2021 dan pernah memenangkan Lomba Karya Tulis yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat bekerjasama dengan Radar Lombok.
Komentar
Jadilah yang pertama berkomentar di sini